Sabtu, 13 Februari 2021

Kota Bebas Sampah, Bukan Mimpi di Siang Bolong

Apa itu Kota Bebas Sampah?

Kota bebas sampah atau dikenal dengan Zero Waste Cities (ZWC) adalah program yang menerapkan sistem pengumpulan sampah terpilah dengan pengolahan secara holistik dan berkelanjutan meliputi aspek edukasi, operasional, regulasi dan pembiayaan sehingga nantinya diharapkan tidak lagi memproduksi sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) dalam sistem pengelolaannya. 

ZWC mulanya adalah impian yang hampir mustahil diterapkan menurut saya. Tapi saya yakin, suatu saat nanti akan bisa diterapkan walaupun saya tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Dan impian itu menjadi sebuah harapan besar bagi saya ketika beberapa kota di Indonesia sendiri sudah ada yang berhasil menerapkannya. Didampingi oleh Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Bandung dan Cimahi berhasil menerapkan program ini. Di Cimahi program ZWC dikenal dengan Gerakan Barengras (Bareng-Bareng Kurangi Sampah), sedangkan di Bandung dikenal dengan sebutan Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, dan Manfaatkan). 

Gambar 1. Biodigester salah satu RW dari program Kang Pisman di Bandung

Mengapa Kota harus Bebas Sampah?

Banyak fakta menunjukkan berbagai kerusakan lingkungan akibat pencemaran sampah, terutama sampah plastik. Banyak hewan yang menjadi korban dari polusi plastik. Dari hasil penelitian, banyak hewan laut seperti ikan, kerang, penyu, mamalia laut yang mengandung mikroplastik. Baru-baru ini juga ditemukan mikroplastik dalam kotoran manusia. Sampah organik pun juga berbahaya bila tidak dikelola dengan baik karena mengeluarkan gas metana yang akan meledak sewaktu-waktu jika bertekanan tinggi. Ledakan itu bisa menyebabkan longsor apabila gunungan sampak terlalu tinggi. Salah satunya di TPA  Leuwigajah, Cimahi, tahun 2005 silam. 143 warga tewas, 71 rumah dan 2 kampung terkubur. Artinya, semua yang manusia lakukan akan kembali pada dirinya sendiri. Lebih lanjut tentang dampak polusi sampah bagi kehidupan kita, bisa dibaca di Sampahmu Buayamu.

Darimana harus memulainya?

Saya ingin memulai di kampung kelahiran saya. Sayangnya saat ini realita berbanding terbalik dengan harapan. Walaupun sudah ada upaya-upaya pemerintah untuk mengajak warga menerapkan pola hidup minim sampah, namun belum berdampak signifikan dalam mengatasi permasalah sampah di kampung saya.

Realita :

Kampung saya terletak di tengah kota kecil daerah Jawa Timur yang penduduknya padat. Rata-rata warganya berasal dari kaum menengah ke bawah, termasuk keluarga saya. Selama ini belum ada kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya. Dulu pernah ada petugas pengangkut sampah. Namun karena banyak warga yang tidak mau bayar, kini kampung kami tak lagi disambangi petugas pengangkut sampah. Warga lebih memilih membuang sampah di pinggir sungai yang menurut mereka lebih dekat dan gratis (padahal dampaknya tidak gratis). Pola pikir yang apatis, kemalasan, serta gaya hidup konsumtif menjadi tantangan terbesar dalam mengubah kawasan kampung saya menjadi zero waste

Upaya pemerintah :

Selama ini sudah ada sosialisasi dari pemerintah mengenai pengolahan sampah. Perwakilan dari masing-masing RT diundang untuk diberi arahan membuat komposter dan difasilitasi untuk wadah komposternya. Namun sayang tidak ada follow up lebih lanjut dan tidak ada pendampingan dalam pelaksanaannya. Hanya sebatas proyek yang sekali jalan selesai. Sehingga saat ada kendala, seperti muncul belatung pada komposter, warga jijik, akhirnya ditinggalkan, dan kembali membuang sampah di pinggir sungai. 

Ada juga kuesioner PHBS yang dibagikan ke warga setiap tahunnya. Salah satu pertanyaannya tertera dimana warga membuang sampah. Oleh Ketua RT malah disuruh untuk menutup-nutupi dengan mengisi dibuang pada tempat sampah dan diangkut oleh petugas dengan alasan takut kampung kami tercoreng nama baiknya. Tapi petugas pemantau yang menanyai warga untuk mengisi kuesioner itu saya minta untuk tidak menanggapi perintah Pak RT dan berlaku jujur dalam mengisi kuesioner bahwa warga buang sampah di pinggir sungai dengan akan ada tindak lanjut untuk mengatas permasalahan ini. Hasilnya, beberapa saat setelah pengumpulan kuesioner, ada beberapa petugas yang meninjau lokasi pinggir sungai. Tapi setelah itu tidak ada tindak lanjut sama sekali, hingga berulang di tahun berikutnya. Di tempat saya, sepertinya itu hanya sekedar menjalankan program tahunan yang tidak ada tindak lanjutnya mengenai hasilnya.

Solusi :

Perlu adanya tanggung jawab pemerintah yang lebih "memaksa" masyarakat terkait pengelolaan sampah dari kawasan. Tanggungjawab itu bukan hanya dalam himbauan ataupun project, yang sekali jalan selesai. Tapi perlu adanya sebuah aturan khusus mengenai pengelolaan sampah yang jelas dan detail seperti kota Bandung dan Cimahi yang sudah beberapa tahun berhasil diterapkan hingga ke tingkat teknis. 

Mengapa saya bilang memaksa? Seperti yang dicontohkan oleh Anilawati dalam Talkshow Zerowaste Cities 6 Februari lalu, masyarakat memakai helm kadang bukan karena mereka sadar akan bahayanya berkendara jika tidak memakai helm, tapi lebih karena takut polisi, karena sudah ada aturan jika tidak memakai helm akan didenda/ditilang. Begitu pula dengan aturan terkait sampah ini. Dalam ZWC, perlu adanya aturan pengelolaan sampah di tingkat kawasan. Selain untuk mengurangi kebergantungan pada TPA, hal ini bisa mendorong warga untuk bertanggungjawab akan sampah yang dihasilkannya, setidaknya dengan memilahnya mulai dari rumah.

Selain peraturan, perlu ada anggaran untuk sarana prasarana yang mendukung. Dengan sarana dan prasarana mendukung, masyarakat akan lebih tergerak untuk menjalankan peraturan. Sarana prasarana itu diantaranya untuk pemilahan sampah dan pengomposan, serta Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas pengangkut sampah. Selanjutnya perlu ada sosialisasi ke warga, dan pendampingan pada saat pelaksanaan, agar bisa berjalan secara berkelanjutan. 

Gambar 2. Sosialisasi warga tentang pemilahan sampah dari rumah

Dengan adanya tanggungjawab pemerintah, mulai dari penetapan aturan, penyediaan anggaran, sosialisasi dan pendampingan yang intens, maka masyarakat akan otomatis tergerak untuk menerapkan zero waste, mulai dari kawasan (RT, RW, kelurahan). Bila kawasan sudah mulai menerapkan, bisa menularkannya ke kawasan lain, hingga menjadi sebuah gerakan. Gerakan itu menjadi sebuah sistem yang terintegrasi dengan sistem yang sudah ada di pemerintah. Bukan hanya DLHK tapi juga Ketahanan Pangan dan berbagai sektor lain yang terkait. Bila satu kota sudah berhasil menerapkan akan bisa menularkan ke kota lain. Dan akhirnya terwujudlah Zero Waste Cities yang tidak hanya mampu mengatasi permasalahan sampah tapi juga bisa mewujudkan ketahanan pangan, meningkatkan kualitas hidup dan ekonomi masyarakat serta mampu menjaga kelestarian lingkungan. 

Tidak semudah membalikkan telapak tangan memang, ini akan butuh proses yang lama. Tapi ini juga bukan hal yang mustahil untuk diterapkan. Sudah ada kota yang berhasil menerapkan. Tentunya bukan hanya pemerintah yang bekerja sendiri, walaupun pemerintah punya peranan besar mewujudkannya. Tapi usaha, kegigihan, dan konsistensi semua lapisan masyarakat yang membantu ZWC bisa terwujud.

 Referensi :

https://ayobandung.com/read/2020/09/15/129786/kontribusi-kota-bandung-dan-kota-cimahi-sebagai-kota-nol-sampah-zero-waste-cities

https://news.detik.com/kolom/d-4686726/menuju-zero-waste-cities-tantangan-inklusivitas

https://aliansizerowaste.id/2019/07/08/8-kota-di-indonesia-siap-adaptasi-program-zero-waste-cities-untuk-kelola-sampah-dari-kawasan/

https://aliansizerowaste.id/2018/10/30/upaya-indonesia-dan-negara-lain-dalam-menyelesaikan-polusi-plastik/

https://www.econusa.id/id/ecostory/microplastic-found-on-13-locations-in-indonesian-waters#:~:text=Mikroplastik%20terbanyak%20ditemukan%20di%20permukaan,0.25%2D1.5%20partikel%20per%20gram.

https://nationalgeographic.grid.id/read/131249836/mengkhawatirkan-mikroplastik-ditemukan-dalam-garam-dan-ikan-di-indonesia?page=all

https://www.youtube.com/watch?v=7xmf_unGu6E

http://ypbbblog.blogspot.com/p/program-zero-waste-cities.html


#ZeroWasteCities

#KompetisiBlogZWC

#KompakPilahSampah

Minggu, 07 Februari 2021

Bahagia Tanpa TV



Kalo sebelumnya saya pernah membahas tentang pengaruh televisi bagi balita, kali ini saya akan membahas tentang salah satu solusinya yang saya terapkan. Alhamdulillah sudah sejak 6 bulan yg lalu berhasil meniadakan TV di rumah. Awalnya karena saya geram sejak si kecil susah dibilangin buat matiin TV padal sudah ada perjanjian sebelumnya kalo setelah acara favoritnya TV dimatikan (ini salah saya juga sih yang kurang tegas). Semakin hari ditolerir makin lama nontonnya. Saya biarin karena saya juga sibuk dengan pekerjaan rumah (Jangan ditiru ya gaees..) 

Puncaknya ketika dia sudah sering niruin hal buruk di TV, TV mau dimatiin dia marah-marah sedangkan adiknya waktu itu juga rewel, akhirnya saya bilang padanya untuk nonton TV sepuasnya, dan besoknya tidak ada lagi TV di rumah. Dia setuju tanpa memperhatikan konsekuensinya. Esoknya TV saya simpan, dia belum sadar, hanya merasa aneh, karena cuma bracket TV yg tertinggal. 

Lama-lama dia sadar, lalu tantrum. Saya ingatkan konsekuensi yg kemarin. Dia menyadari kesalahannya, tapi masih tantrum. Saya biarkan dia dulu. Setelah dia  tenang, baru saya jelaskan kalo saya sebenarnya sedih ketika dia berlama-lama nonton TV, sedangkan tayangan itu atau iklan-iklannya kurang baik baginya. Saat marah-marah dia melempar barang seperti tokoh yg ditontonnya, kadang juga teriak-teriak, rambutnya ingin dicat warna warni seperti yg diiklan, dsb. Saya jelaskan semua keresahan saya. Tapi itu tidak membuat tantrumnya berakhir selamanya. Beberapa hari berikutnya masih tantrum, tapi setiap kali dia bilang mau nonton TV, saya tanya alasannya kenapa kira-kira saya tidak mengijinkannya nonton TV lagi, dia cuma bisa diem karena tau itu kesalahannya dan masih meluapkan emosinya dengan menangis.

Seminggu setelah TV ditiadakan dia akhirnya berhenti tantrum. Mungkin pikirnya "percuma aku nangis gulung-gulung, TV gak bakalan nongol lagi". Berdamai dengan hilangnya TV, muncullah kreatifitasnya. Dari membuat karakter-karakter dari botol, menggambar apapun yg dia suka (padal saya tak pernah mengajarinya menggambar), membangun sebuah taman dari mainan-mainan yang dia punya, dan ide-ide lainnya yang tak terpikirkan sebelumnya. Dia juga senang sekali dengan buku walaupun belum bisa membaca. Dan kini di usianya yang 4,5 tahun dia juga sudah bisa membaca. Padahal saya tak pernah meluangkan waktu khusus buat ngajarin dia membaca. Saya hanya menempelkan poster suku kata seperti ini :
Dasarnya anak tipe visual kali ya, dan dia punya rasa penasaran yang tinggi. Penasaran dengan apa yang tertulis disitu, dia selalu bertanya. Kata-kata yang ada di buku, di poster, dimanapun itu ditanyainnya ke saya gimana bacanya. Dan tak terduga dia bisa membaca kalimat-kalimat yang ada di dalam buku walaupun masih terbata-bata.

Alhamdulillah, saya lega dan tidak pernah menyesal meniadakan TV di rumah. begitu pula dengan gadget/hp, tidak pernah saya install game. Tapi, screen time tetap ada untuk memberinya tayangan edukatif sebagai contoh baik yg layak ditiru, seperti Nussa dan Riko The Series. Itupun hanya 3 episode per hari, cuma diliat di laptop ayahnya, dengan perjanjian setelah ayahnya selesai kerja dan dia selesai mandi. Lagu anak-anak juga tetap saya perdengarkan tapi dengan media audio. Saya taruh file-filenya di microSD, lalu saya tancepin di speaker, dan disetel waktu subuh buat bangunin dia, biar makin semangat bangunnya. Saya isi murrotal juga di speaker buat hafalin Al-Qur'an dengan cara yg menyenangkan (sebenernya karena emaknya gk pinter ngaji sih.. selain itu biar dia waktu lafalin makhrojnya bener-bener pas, karna kalo udah terlanjur hafal dan makhrojnya ato panjang pendeknya salah, agak susah ngelurusinnya).

Jadi, intinya, jangan takut untuk meniadakan TV di rumah bisa memang tidak bisa meminimalisir dampak buruknya bagi anak-anak kita. Takut anak kita bosan, tantrum, itu juga yang saya alami. Dan itu pasti. Namun bagaimana cara kita menyampaikannya ke anak kita apa yang kita resahkan dan perbanyak waktu untuk bermain bersama anak-anak kita itu akan menjadi solusi yang efektif untuk mengatasinya. Selain TV masih banyak media lain yang lebih bermanfaat bagi anak-anak kita. Buku misalnya. Buku sekarang juga sudah lekat dengan teknologi. Kini sudah banyak buku-buku yang dilengkapi E-pen untuk membacanya (ini bisa mendampingi anak saat kita tak bisa membacakannya di sampingnya. 

Kalo tak ada TV dan game di HP apakah perlu beli banyak mainan mahal?
Tidak juga. Banyak sumber di internet yang berisi permainan edukatif yang dibuat dari barang bekas atau barang yang mudah kita temukan di rumah. Kalo punya printer di rumah juga banyak sumber yang menyediakan printable gratis untuk mendukung para ibu dalam memberikan permainan atau media pembelajaran edukatif bagi anaknya. Beberapa situs yang menyediakan printable gratis diantaranya :

Sekian sharing pengalaman dari saya, semoga bermanfaat.. 
Bagi orang tua yang sedang berjuang menghadapi anaknya dari pengaruh TV, selamat berjuang..
pepatah bilang "dimana ada kemauan disitu ada jalan"