Jaman sekarang ini televisi seakan menjadi barang
wajib yang dimiliki setiap rumah. Bahkan si kecil yang belum beranjak 5 tahun
pun seringkali dipertontonkan televisi (termasuk saya). Hah, saya?? Gak salah??
Gak malu apa ngisi Jumagi (salah satu program GEMAR RAPI) dengan tema ini sementara saya sendiri termasuk
pelakunya?
Malu sih sebenarnya. Tapi apa mau dikata, nasi
sudah menjadi bubur, jadiin bubur ayam aja. Maksudnya, sekaligus sharing
pengalaman aja, agar orang tua lain lebih
aware ketika anaknya disuguhkan televisi. Pepatah bilang kan pengalaman
adalah guru yang terbaik. (alibi biar gk malu-maluin…hehehe..).
Saya rasa hampir semua orang yang punya anak kecil
tidak bisa lepas dari televisi. Apalagi saat virus Corona lagi merebak di
seluruh dunia. Selain gadget, televisi jadi hiburan untuk mengusir rasa bosan
yang melanda. Tetapi, sadar atau tidak televisi sebenarnya lebih banyak
memberikan pengaruh buruk bagi anak-anak kita. “Merusak, tapi dicintai”. Itu
salah satu statement yang diungkapkan M. Fauzil Adhim dalam buku parentingnya. Saya
tidak memungkirinya karena saya sendiri juga masih menjadikan televisi sebagai pengalihan
saat anak makan (agar makannya lahap) atau saya sedang sibuk mengerjakan pekerjaan
rumah tangga sementara anak saya bosan dan saya tidak bisa menemaninya main.
Sebelum mengupas tentang pengaruh buruknya,
ijinkan saya memaparkan pengaruh baiknya (biar sedikit terhibur dan mengurangi
rasa bersalah waktu membiarkan balitanya menonton TV)
Pengaruh
Baik (dengan catatan yang nonton di atas 2 tahun)
1.
Mengedukasi dan memberi informasi (dikutip dari ibupedia.com)
Televisi bisa
lebih efektif dibanding buku atau rekaman suara dalam mengajarkan sebuah proses
pada anak seperti bagaimana menanam tumbuhan atau belajar alfabet.
Anak
prasekolah yang menonton program informasi dan edukasi cenderung menonton lebih
banyak acara informasi dan edukasi ketika bertambah besar. Mereka menggunakan
TV secara efektif sebagai pelengkap pelajaran sekolah. Sebaliknya, anak yang
menonton lebih banyak program hiburan akan lebih sedikit menonton program
informasi ketika bertambah besar
Anak usia
prasekolah yang menonton program edukasi cenderung lebih tinggi rankingnya,
kurang agresif, dan lebih menghargai nilai belajar ketika mencapai sekolah
menengah, berdasarkan sebuah penelitian.
Ketiga poin ini yang
perlu digaris bawahi adalah program edukasi. Berarti apabila yang kita
pertontonkan bukan program edukasi, melainkan hanya sekedar hiburan, terlebih
tidak didampingi, jelas tidak ada pengaruh positifnya.
2. Menstimulasi
kemampuan bicara
Saya dan suami adalah
tipe orang yang tidak terlalu banyak bicara. Ketika anak saya kemampuan
bicaranya kurang, disamping saya sering mengajaknya ngobrol, saya coba
pertontonkan lagu-lagu anak untuk menstimulasi kemampuan bicaranya. Dan itu
berkembang cukup pesat. Tapi ini mungkin tidak berlaku bagi balita dengan gaya
belajar kinestetik, karena fokusnya kurang untuk mencermati apa yang
ditontonnya (hanya nonton sekilas, lalu bergerak kesana kemari).
3. Bisa
berimajinasi
Ini bisa memberikan
efek positif atau malah negatif. Dengan tayangan yang ditontonnya, anak saya bisa
berimajinasi dengan benda-benda di sekitarnya. Misalnya botol-botol bekas ia
imajinasikan dengan tokoh kartun yang ditontonnya. Namun berimajinasi ini
menjadi pengaruh buruk ketika sepanjang hari yang ia imajinasikan dan ia
bicarakan adalah tokoh-tokoh di televisi
Ibarat
bubur bayi instant, ketika judulnya tertulis “ayam kampung bayam”, bila
dicermati di komposisi ayam kampung dan bayamnya tidak lebih dari 2%. Maka jangan
harap bubur instan itu bisa menggantikan gizi yang dibutuhkan para balita. Begitu
juga dengan televisi.
Pengaruh Buruk :
1. Memperlambat perkembangan
otak
Bayi di bawah 18 bulan belum bisa menghubungkan
peristiwa yang ada di TV dengan yang ada di dunia nyata. Yang ada di pikiran
mereka hanyalah gambar yang berubah-ubah dan bersuara. Otak mempunyai synaps (jaringan
dalam otak yang membuat cerdas seorang anak) dan synaps sangat ditentukan oleh
gerakan tubuh. Sedangkan menonton TV kebanyakan hanya duduk diam dan kurang
begerak sehingga synaps tidak berkembang dengan baik.
2. Bersikap pasif
Sering berdiam diri di depan televisi membuat si
Kecil jarang berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Sebab mata dan
pikirannya fokus menatap layar kaca. Hal inilah yang membuatnya cenderung pasif
kala berada di lingkungan sosial.
3. Kurang
aktifitas
Ketika menonton, si kecil akan lebih sering duduk
atau rebahan di depan televisi. Ia pun akan jarang bergerak dan mengolah
tubuhnya. Hingga kalori yang terbuang hanya sedikit dan bisa berujung pada
kegemukan atau obesitas. Tapi ini tidak berlaku untuk anak saya. Nonton TV dan
aktivitasnya bermainnya lebih sering duduk, makannya juga banyak nggak gemuk
juga. Banyak faktor lain mungkin ya yang mempengaruhi.
4. Radiasi
televisi bisa mengganggu kesehatan mata
Sinar biru adalah sinar dengan panjang gelombang
cahaya 400-500 nm yang dapat berpotensi terbentuknya radikal bebas dan
menimbulkan fotokimia ada retina mata anak. Lensa mata anak masih peka dan
belum dapat menyaring bahaya sinar biru. Karena itulah risiko terbesar
kerusakan akibat sinar biru terdapat pada usia dini.
5. Mensalah artikan
iklan
Kebanyakan anak di bawah 8 tahun tidak memahami
kalau iklan digunakan untuk menjual produk (apalagi balita yang belum bisa
menyaring informasi yang dilihat dan didengarnya). Yang si kecil lihat adalah produk
itu membuatnya bahagia sehingga lama kelamaan dia pasti menginginkannya. Ada iklan
jajan langsung dia pengen itu. Ada iklan susu, dia pengen juga. Sampai suatu
saat saya sempat kaget dibuatnya karena ingin rambutnya warna warni seperti di
iklan.
6. Mempengaruhi
perilaku
Tiga bulan pertama ketika saya melahirkan anak
kedua saya mudik di kampung. Dan anak pertama saya lebih banyak menghabiskan
waktunya bersama kakeknya. Namanya kakek, senang apabila cucu duduk di
pangkuannya sambil nonton TV. Sayangnya beliau kurang memperhatikan apakah yang
ditonton cucunya itu sesuai dengan usianya atau tidak. Yang penting judulnya
kartun dan cucunya senang. Perilaku anak saya mulai berubah. Ketika dia marah,
cemburu dengan adeknya, dia melempar-lempar barang sambil teriak-teriak. Dan suatu
saat ketika saya memperhatikan apa yang dia tonton, tokoh utamanya suka
melempar barang ketika marah. Miris saya melihatnya. Ketika saya mengkomunikasikan
dengan ayah, beliau cuma mengiyakan. Saat saya berlalu yang disetel itu lagi. Sedih
saya.
Terkadang ketika kita juga sudah mensortir
tayangan di televisi yang layak untuk usia si kecil.namun, tetap ada perilaku
negatif yang ditirunya. Misalnya ada tokoh utamanya berantakin mainan, dia
bilang nanti saja merapikannya, mainannya rusak terinjak lalu sadar dan segera
merapikannya, yg ditiru “nanti saja”nya. ini dikarenakan memang balita masih
dalam bentuk perilaku meniru, belum bisa memilah informasi yang dia terima. Oleh
karena itu kita perlu was-was apabila kita tidak mengetahui apa yang ditonton
anak kita karena kita tidak tau apa yang dia serap dan apa yang dia tiru dari
hal yang dilihatnya.
7. Hilangnya empati,
rasa sedih dan hilangnya penilaian buruk terhadap tindak kekejian.
Ini pengaruh yang paling parah menurut saya, yang
bila dibiarkan akan memicu tindak kekerasan dan kejahatan. Kemaren sempat
mendengar ada ABG yang membunuh balita tetangganya sendiri gara-gara terobsesi
pada film horror yang ditontonnya. Ketika diinterogasi polisi pun dia tidak
merasa menyesal katanya. Mungkin sejak kecil dia kurang diperhatikan
orangtuanya, terlebih dengan apa yang ditontonnya.
Selain
pengaruh buruk di atas sebenarnya masih banyak lagi pengaruh buruk yang
ditimbulkan seperti menurunnya kecerdasan dan sebagainya. Yang jelas kita
sebagai orangtua minimal menyadari dan mulai meminimalisir dampak negatif yang
ditimbulkan.
Bagaimana
caranya?
1. Tiadakan
televisi di rumah
Ini adalah cara yang paling simpel tapi paling
sulit diterapkan. Setuju?
Tapi apabila menerapkan ini, orangtua juga harus
mempunyai alternatif lain, seperti buku-buku bacaan, memberinya permainan edukatif sesuai dengan gaya belajarnya, menemaninya bermain, dan harus lebih memperhatikan anaknya. Jangan sampai meniadakan televisi di rumah, tapi kurang
memperhatikan anaknya. Sehingga anak lari ke rumah tetangganya, atau
teman-temannya sekedar untuk nonton TV. Parahnya apabila yang ditonton tetangganya itu
sinetron yang sama sekali tak layak untuk anak-anak.
2. Batasi waktu
menonton TV
Usia balita sebaiknya sehari tidak lebih dari satu
jam untuk menonton televisi. Tapi karena balita belum mengerti konsep waktu,
kita sesuaikan dengan apa yang ia mengerti. Misalnya, “habis tayo dimatikan ya,
waktunya tv istirahat”.
3. Menyortir
tayangan yang baik dan layak untuk usianya
Sekali lagi karena balita menyerap semua informasi
yang diterimanya, seperti spons yang menyerap air, jadi seminimal mungkin kita
menyajikan tayangan yang tidak terdapat kekerasan didalamnya dan ada nilai
edukasinya.
4. Dampingi ketika
nonton dan membantu memahami apa yang ditonton anak.
Sumber
:
Mohammad
Fauzil Adhim. 2015. Positive Parenting.
Yogyakarta: Pro-U Media
Pengalaman
pribadi